Rabu, 16 November 2011


oleh: eko, dkk

BAB I
PENDAHULUAN


Telah diketahui bahwa hadis nabi adalah sumberhukum Islam yang kedua setalah al-Qur’an. Hadis nabi adalah rujukan terpenting dalam pembentukan hukum Islam sesudah al-Qur’an. Selain itu, hadis juga mempunyai fungsi lain yaitu sebagai penjelas dan merinci lagi terhadap apa yang terkandung dalam al-Qur’an yang masih bersifat Ijmal. Karena urgenya hadis dalam Islam, maka dalam pengambilan sebuah hukum diperlukan pengetahuan yang komperhensif agar mendapatkan pemahaman yang benar.

Mengenai perbedaan pendapat tentang cara penetapan bulan Qomariyah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah di bulan Ramadhan , Syawal dan Zulhijjah sudah muncul sejak dulu dalam peradapan Islam. Secara gelobal ada dua pendapat besar yaitu pertama  yang menyatakan bahwa cara penetapan awal bulan tersebut adalah hanya dengan rukyat[1] yaitu melihat bulan secara fisik tanpa menggunakan hisab. Kedua pendapat yang menyatakan penetapan yang lebih utama adalah menggunakan hisab astronomi yang memberikan kepastian yang lebih dibandingkan dengan rukyat yang selain sukar juga sering tidak akurat. Kedua pendapat ini mempunyai argumen yang sama-sama bersumber dari nas al-Qur’an dan Hadis, namun bagaimana hadis menjawab mari kita lihat hadis-hadis yang berbicara mengenai hal ini.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    Hadits Tentang Ru’yatu Hilal

حَدَّثَنِيحَرْمَلَةُبْنُيَحْيَىأَخْبَرَنَاابْنُوَهْبٍأَخْبَرَنِييُونُسُعَنْابْنِشِهَابٍقَالَحَدَّثَنِيسَالِمُبْنُعَبْدِاللَّهِأَنَّعَبْدَاللَّهِبْنَعُمَرَرَضِيَاللَّهُعَنْهُمَاقَالَسَمِعْتُرَسُولَاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَيَقُولُإِذَارَأَيْتُمُوهُفَصُومُواوَإِذَارَأَيْتُمُوهُفَأَفْطِرُوافَإِنْغُمَّعَلَيْكُمْفَاقْدِرُوالَهُ
Artinya:

            “Telah menceritakan kepadaku Harmalah ibn Yahya, telah menceritakan kepada kami Ibn Wahab, telah menceritakan kepadaku Yunus dari Ibn Syihab ia berkata: telah menceritakan kepadaku Salim bin ‘Abdillah bahwa ‘Abdullah ibn “Umar Radiyallahhu ‘anhuma ia berkata ; saya telah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda : apabila kalian telah melihatnya (bulan) maka berpuasalah, dan apabila kalian telah melihatnya(bulan) maka berbukalah. Jika mendung menghalangi kalian maka kira-kirakanlah (hitunglah).” (Mutafaq ‘alaih).

B.     Takhrij dan Tahqiq[2]
Setelah kami melakukan takhrij di CD. Maktabah Mausu’ah, hadis diatas dapat kita jumpai pada shaih Muslim pada kitab Syiyam bab Wujubu Shaumu Ramadhan Lirukyati Hilalin wal Fitru lirukyati Hilalin, hadis nomor 1799.Lafadz matan hadis yang sama dengan hadis diatas adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam Bukhari yaitu pada hadis nomor 1767 pada kitab Shiyam bab  Hal Yaqul Ramadhan aw Sahru Ramadhan Kulluhu... Sedangkan lafadz yang hampir serupa adalah hadis yang diriwayatkan oleh imam an-Nasa’i pada nomor 2091 pada bab shiyam. Namun yang semakna dengan hadis diatas itu sangat banyak dan beragam variasi matan teks hadisnya. Misal seperti hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad
حَدَّثَنَاأَبُوكَامِلٍحَدَّثَنَاإِبْرَاهِيمُحَدَّثَنَاابْنُشِهَابٍعَنْسَالِمٍعَنْعَبْدِاللَّهِبْنِعُمَرَقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَإِذَارَأَيْتُمْالْهِلَالَفَصُومُواوَإِذَارَأَيْتُمُوهُفَأَفْطِرُوافَإِنْغُمَّعَلَيْكُمْفَاقْدُرُوالَهُ
Dan masih banyak juga hadis yang semakna dengan hadis diatas. Hadis yang semakna diatas dapat kita jumpai pada kitab-kitab hadis yang induk yaitu kutubu al-tis’ah.menurut kriteriah Imam Bukhari dan imam MuslimSanad pada hadis diatas(hadis induk) adalah sahih(maqbul) yang artinya dapat diamalkan. Begitupun juga pada imam yang lain, hadis diatas tidak sampai pada tingkatan Dha’if.
            Adapun sanad dari hadis diatas (hadis induk) adalah sperti bagan dibawah ini
yang artinya hadis tersebut adalah shahih dan dapat diamalkan. Sedangkan hadis komplementer dari hadis induk juga bersanadkan  shahih tidak dhaif dan hadis tersebut adalah bisa dikatakan penafsiran atau penjelas hadis induk.
C.     Makna Mufradat
Hadis diatas adalah dalil yang menunjukkan kewajiban berpuasa pada bulan Ramadhan setelah melihat hilal (bulan). Karena hal ini sangat penting dan selalu menjadi perdebatan maka untuk memahami hadis ini kita perlu memahami mufradatnya dan disamping itu nanti juga harus membutuhkan bantuan ilmu yang lain. Makna kata yang harus dipahami dalam hadis diatas adalah yang pertama kata  رَأَيْتُمُوهُ yang artinya “kamu semua melihatnya”. Kata tersebut berasal dari kata رأى  yaitu bentuk fi’il madi yang artinya melihat dengan mata atau berpendapat.[3] Sedangkan dalam Lisanul ‘Arob disebutkan dapat bermakna melihat dengan mata kepala apabila mempunyai maf’ul satu namun jika mempunyai maf’ul dua maka kata رأى bermakna العِلْم yaitu menetahui.[4] Kataرَأَيْتُمُوهُ pada hadits diatas adalah bentuk jamak yang artinya “kalian atau kamu semua melihat bulan.” Kata tersebut bukan berarti mengandung arti bahwa setiap individu orang Islam harus melakukan rukyat sebelum berpuasa, tetapi yang dimaksudkan adalah penglihatan seseorang disuatu negri berarti penglihatan semua orang dalam negri itu.[5]
Yang kedua adalah lafadz فَاقْدِرُوا  yang diartikan“kira-kirakanlah”.[6]Dalam kitab subulussalam diterangkan bahwa kata tersebut adalah bentuk dari kata perintah. Hamzahnya adalah hamzah wasol dan huruf “dal” itu dikasrah dan didhamahkan, jadi boleh dibaca dua. Sedangkan maksud dari kata ini adalah dengan disempurnakan dengan menyempurnakan hitungan 30 hari “فَأَكْمِلُواالْعِدَّةَثَلَاثِينَ “.
D.    Syarah dan Kandungan Hadis
Hadis diatas merupakan dalail yang menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan dan merayakan hari raya Idul Fitri setelah melihat hilal. Jika dilihat dari dzahir teks hadis diatas, terdapat pernyataan harus melihat hilal oleh semua orang yang ditujukan oleh hadis tersebut, lafad tersebut dikarenakan menggunakan katajamak. Namun para ulama sepakat bahwa tidak diwajibkan untuk melihat hilal, hanya sebagian saja yang memenuhi kriteria dalam melakukan rukyah. Hal ini sesuai dengan hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Al Hakim, dan Ibnu Hibban yang artinya;
“Dari Ibnu Umar r.a. dia berkata : orang-orang memperhatikan bulan sabit, lalu saya memberitahukan kepada Nabi SAW, bahwa saya sungguh telah melihatnya. Lalu beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa.[7]
Hadis tersebut menunjukkan bahwa kesaksian dalam melihat hilal boleh dilakukan oleh sebagian kaum saja. Dalam masalah ini para ulama mensyaratkan tentang keadilan orang tersebut dan berdasarkan kesaksian dari dua orang.
Pada zaman modren saat sekarang ini, peranan iptek sangat membantu dalam segala lini, baik yang menyangkut masalah duniawi maupun masalah ukhrawi. Dari sini terdapat permasalahan yaitu bgaimana peranan iptek seperti alat bantu dalam rukyah ? diperbolehkan atau tidak ?. pada perinsipnya para ulama tidak keberatan atas keikutsertaanya iptek dalam proses penentuan awal Syawal dan Ramadhan selagi hal tersebut tidak mengabaikan ketentuan syara’.[8] Maksud dari para ulama inia adalah bahwa syariat Islam itu tidak memberatkan kaumnya, kususnya dalam masalah ibadah. Jika penggunaan alat bantu itu membaratkan maka tidak boleh namunjika sebaliknya maka boleh untuk diamalkan.
Kemudian lanjutan hadis diatas adalah lafad فَإِنْغُمَّعَلَيْكُمْ “ maka apabila mendung telah menghalangi kalian (untuk melakukan rukyah)”, lafad tersebut merupakan masalah yang akan dihadapi dalam rukyah. Ada beberapa kesulitan yang akan dihadapi oleh tim perukyah diantaranya adalah jauhnya jarak bulan dengan permukaan bumi, yang jaraknya mencapai sekitar 400.000 kilo meter, selain itu hilal hadir hanya sebentar saja yaitu sekitar 15 menit sampai 1 jam, padahal pandangan mata sering terhalang oleh awan yang tebal terutama di daerah tropis seperti di Indonesia[9],  dan masih banyak kesulitan-kesulitan yang lainnya. Oleh karena itu beliau Nabi SAW memberikan alternatif yang kedua setelah rukyah tidak bisa dilakukan yaitu فَاقْدِرُوالَهُ  “maka kira-kirakanlah.” Dalam pembahasan lafad ini dikalangan ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa lafad ini adalah dalil tentang adanya hisab seperti yang diterangkan dalam kitab Hisab Bulan Kamariyah bahwa lafad فَاقْدِرُوالَهُ  adalah diartikan sebagai perhitungan dengan hisab astronomi. Artinya jika keadaan bulan tersingkap oleh awan atau mendung sehingga menyebabkan tidak bisanya melakukan rukyah maka buatlah perhitungan secara astronomi. Jika menurut perhitungan, ketinggian hilal sudah memungkinkan terlihat seandainya tidak tersingkap oleh mendung maka awalilah atau akhirilah puasa Ramadhan tersebut. Jadi dalam hadis ini tersirat perintah tentang hisab.
Sedangkan ulama lain menyatakan bahwa maksud dari فَاقْدِرُوالَهُ adalah penyempurnaan hitungan menjadi 30, hal ini sesuai hadis nabi yang diriwayatkan oleh imam Ahmad yang berbunyi:
حَدَّثَنَايَحْيَىبْنُسَعِيدٍالْأُمَوِيُّقَالَحَدَّثَنَاالْحَجَّاجُعَنْعَطَاءٍعَنْأَبِيهُرَيْرَةَقَالَقَالَرَسُولُاللَّهِصَلَّىاللَّهُعَلَيْهِوَسَلَّمَصُومُوالِرُؤْيَتِهِوَأَفْطِرُوالِرُؤْيَتِهِفَإِنْغُمَّعَلَيْكُمْالشَّهْرُفَأَكْمِلُواالْعِدَّةَثَلَاثِينَ
Yang artinya: “telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id al- amwiyyi ia berkata, telah menceritakan kepada kami Alhajjaj dari ‘Ata’ dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW. Bersabda berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian karena melihat hilal, apabila mendung menyusahkan kalian maka sempurnakanlah hitungan 30 hari.”
Dari hadis tersebut maka dapat diketahui bahwa maksud dari kata faqduru lah  adalah dengan menyempurnkan hitungan 30 hari, bukan sebagai hisab. Bahkan Ibnu Bathol mengatakan “ dalam hadis tersebut terkandung larangan untuk memperhatikan pendapat ahli bintang, dan yang diperhatikan adalah penglihatan bulandan kita dilarang untuk membebani diri.”[10]
E.     Kesimpulan Hukum
Dari penjabaran tentang hadis diatas dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa :
1.      Hadis tersebut mengandung hukum bahwa wajibnya berpuasa Ramadhan adalah setelah melihat hilal.
2.      Apabila mendung atau awan tebal menyingkap permukaan bumi sehingga mengganggu aktifitas rukyah maka alternatif yang ditawarkan adalah dengan menyempurnakan hitungan 30 hari.
3.      Karena maful dari kata Roaa itu Cuma satu maka hukum cara melihatnya adalah harus dengan menggunakan mata kepala baik menggunakan alat bantu atau tidak bukan melihat dengan penilaian atau perkiraan.
4.      Dari sebagian ulama ada yang menjadikan kata faqdiruulah  adalah sebagai dasar diperbolehkannya hisab.
Hadis hadis yang tercantumkan diatas adalah makbul semua sehingga harus diamalkansemuanya. Jika hanya mengamalkan sebagiannya saja maka lama kelamaan hadis akan tinggal teksnya saja tanpa adanya pengamalan. Hadis diatas juga mengindikasikan bahwa langkah awal dalam penetapan awal Ramadhan dan Syawal dengan cara rukyah, jika dengan rukyah tidak bisa maka dilakukan dengan cara mengenapkan perhitungan menjadi 30 hari atau dengan cara menghisabnya.
















DAFTAR PUSTAKA

Habibie, B.J, Rukyah dengan Teknologi upaya mencari kesamaan pandangantentang penentuan awal  Ramadhan dan Syawal, Jakarta :Gema Insani Press. 1994
CD. maktabah Maushu’ah
CD. maktabah Syamilah
Kamus Al Munjid
            Rida,Syekh Muhammad Rasyid, Hisab Bulan Kamariyah tinjauan syar’i tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zulhijjah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah. 2009
            Ruskanda, Farid, 100 Masalah Hiasab & Rukyat telaah syariah,sains dan teknologi, Jakarta : Gema Insani Press, 1995.
             Shan’ani, Subulussalam, Terj, Muhammad, Abu Bakar, Terjemahan Subulussalah II Hadis-hadis Hukum, Surabaya: Al Ikhlas, 1991


[1] Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, dkk. Hisab Bulan Qomariyah, tinjauan syar’i tentang penetapan awal Ramadhan, Syawal dan Zul hijjah, Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2009. Hlm. 1
[2] CD. Maktabah Mausu’ah
[3] Lihat kamus al-Munjit hlm.243
[4] CD. Maktabah syamilah jilid 14 halaman 291.
[5] Drs. Abu Bakar Muhammad, Subulussalam II (terjemahan), Surabaya: Al-Ikhlas 1991, hlm.597-598
[6] Drs. Abu Bakar Muhammad, Subulussalam II (terjemahan), Surabaya: Al-Ikhlas 1991, hlm.599
[7] Drs. Abu Bakar Muhammad, Subulussalam II (terjemahan), Surabaya: Al-Ikhlas 1991, hlm.601
[8] Prof. DR. Ing. BJ Habibie, rukyah dengan teknologi; upaya mencari kesamaan pandang an tentang penentuan awal  Ramadhan dan syawal, Jakarta: Gema Insani Pres, hlm.72
[9] DR. IR. H. S. Farid Ruskanda, 100 masalah hisab & rukyat; telaah syari’ah, sains dan teknologi, Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 41-43
[10] Drs. Abu Bakar Muhammad, Subulussalam II (terjemahan), Surabaya: Al-Ikhlas 1991, hlm.600
o-lT �%t g H� �� :none;text-autospace:none'> 












DAFTAR PUSTAKA
Ali, Atabik dan A. Zuhdi Muhdlor. Kamus Al-Asriyi. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996
Al-Asqolani , Ibnu Hajar.  Bulughul Maram min Adilatil Ahkam terj. Kahar Masyhur. Jakarta: Rineka Cipta, 1992
An-Nawawi. Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim. Bab Hukmu Wulughul Kalbi. Juz 3
As-Syuyuti. Syarah As-Syuyuti ‘ala Muslim. Juz II. Hlm. 54. No. 279. CD Maktabah Syamilah
Ash-Shiddieqy, Hasbi. Koleksi Hadist Hukum 1. Bandung: Al-Ma’arif, 1981
 CD Maktabah Syamilah. Global Islamic Software
Hadist Riwayat Muslim. Sahih Muslim. Juz II. Bab Hukmu Wulugul Kalbi. No. 420. CD Maktabah Syamilah. Global Islamic Software
Hanbal ,Ahmad bin. Musnad Ahmad bin Hanbal. Juz II.. No. 9507. CD Maktabah Syamilah
Mandzur , Ibnu. Lisanul Arab.  Bab Ghasala. Juz 11.. CD Maktabah Syamilah





[1] Hadist Riwayat Muslim, Sahih Muslim, Juz II, Bab Hukmu Wulugul Kalbi, no. 420, CD Maktabah Syamilah, Global Islamic Software
[2] CD Maktabah Syamillah, Global Islamic Software
[3] Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Juz II, hal. 427, No. 9507 ,CD Maktabah Syamilah
[4] Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Al-Asriyi, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996), hlm. 2039
[5] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, Bab Walagha, Juz 8, hlm. 460, CD Maktabah Syamilah
[6] Atabik Ali dan A. Zuhdi Muhdlor, Kamus Al-Asriyi, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996), hlm. 1350
[7] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab, Bab Ghasala, Juz 11, hlm. 494, CD Maktabah Syamilah
[8] As-Syuyuti, Syarah As-Syuyuti ‘ala Muslim, Juz II , hlm. 54, No. 279, CD Maktabah Syamilah
[9] An-Nawawi, Syarah An-Nawawi ‘ala Muslim, Bab Hukmu Wulughul Kalbi, Juz 3, hlm. 182—186
[10] Ibnu Hajar Al-Asqolani, Bulughul Maram min Adilatil Ahkam terj. Kahar Masyhur, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 4—5
[11] Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadist Hukum 1, (Bandung: Al-Ma’arif,1981), hlm. 58
[12] Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadist Hukum 1, (Bandung: Al-Ma’arif,1981), hlm. 51

ads

Ditulis Oleh : Viralkan Hari: 17.40 Kategori:

0 komentar:

Posting Komentar